Kepalaku rasanya membesar dan mati rasa, tak tau harus mengatakan apa setelah wanita didepan saya ini tiba2 serius. Padahal berjam-jam tadi kami asyik bergurau tanpa sedikit pun terlihat bahwa ada bagian memori yg ia sembunyikan. Kelancanganku lah yang membuatnya terpaksa bicara. Ah…Setan apa yg masuk ke benakku hingga seberani itu.
Lalu meluncur lah rangkaian cerita, rangkaian cerita tentang wanita yg kau sebut dengan “muka masam dibalik pintu” itu. Tentang bagaimana perempuan itu dengan caranya berhasil membuat kamu yakin bahwa kamu lah yang harus pergi dari hidupku. Sehingga baru aku tau sekarang penyebab mengapa sejak itu kamu mendadak seperti hilang ditelan bumi, devina…
Aku mengambil nafas panjang, dan terhenyak untuk kedua kalinya di sofa empuk tadi.
Namun kali ini, bukan hangat yg kurasa…tak lain beku yg menjalar di wajahku
Aku tau, apapun yang aku katakan kamu tak akan percaya dan sudah tak ada gunanya pula.
Kejadian sepuluh tahun lalu begitu cepat, bermetafora seperti engkau sedang melihat orang tergeletak tertusuk pisau didadanya….
kamu melihat dengan jelas pisau itu aku yang pegang, mudah bagimu untuk mengatakan aku lah pembunuhnya, meski sebenarnya aku sedang mencoba menyelamatkan orang itu.
Aku memilih diam.
Hanya hening yang ada….sampai suaramu memecah kesunyian…
“Sudah malam, adrian…
Aku harus segera kembali ke jakarta
Dingin…..membentur dinding
Tak keras, namun tetap menyakitkan
masih di Bandung Selatan
kala itu